Cukuplah Hanya dengan Melakukan yang Terbaik
Saat SMA, saya punya teman yang selalu menduduki peringkat pertama di sekolah.
Dia selalu ranking satu di semua ujian, tipikal murid cerdas.
Suatu hari, setelah tryout, saya sempat melihatnya berjalan pulang sendirian sambil menangis.
Kenangan hari itu masih membekas jelas di ingatan saya.
Di hari yang terik, dia berjalan tanpa ditemani siapapun.
Tak lama kemudian, beredar kabar di antara para siswa.
Banyak yang berspekulasi kalau dia pasti gagal saat tryout.
Dia menangis karena kecewa tidak bisa menempati urutan pertama.
Muncul pula selentingan soal nilainya yang merosot.
Anak-anak pun mulai mengejeknya sebagai pecundang.
Karena kami cukup dekat, saya bertanya secara pribadi.
"Katanya kamu pernah nangis pas pulang ke rumah ya? Kamu nggak bisa jawab soal tryout?" (Saya pura-pura tidak tahu.)
"Ho-oh."
"Nggak dapet ranking satu bukan kiamat kok. Kenapa mesti sedih?"
"Hah? Maksudnya?"
"'Kan kamu nangis gara-gara galau nggak bisa ranking satu?"
Lalu dia berkata, "Enggak lah, aku nangis soalnya waktu itu aku salah ngerjain soal padahal ngerti jawabannya. Aku kecewa sama diriku sendiri. Emangnya siapa yang peduli soal ranking?"
Saat itulah saya menyadari sesuatu.
Semua anak menilainya sebatas peringkat yang dimiliki.
Tapi dia tidak pernah membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Dia malah tidak pernah memikirkan peringkat berapa yang akan diperolehnya.
Dia menangis hanya karena salah menjawab pertanyaan yang dia tahu.
Ketika saya ingat-ingat lagi, anak itu selalu membantu teman yang lain mengerjakan soal.
Setiap kali saya menanyakan sesuatu, dia akan antusias menjawab dan menerangkan jawabannya.
Dia tidak pernah cemas soal ranking.
Kemudian, dia lanjut kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya lalu memperistri adik tingkat dari kampus yang sama.
Mereka sekarang adalah pasangan pengacara yang sukses dan unggul di bidang masing-masing.
Tahun lalu, kami akhirnya bertemu lagi dan membahas masa-masa SMA.
Saya bilang padanya saya salut dengan sikapnya yang cuek dengan opini orang lain.
Saya juga bertanya apa sekarang pun dia masih begitu.
Dia berujar sambil tertawa, "Sebenernya sih nggak ada banyak lawyer di bidang yang sama kayak aku."
Rasa percaya diri sejati bukan berarti kita memandang diri sendiri lebih baik daripada orang lain.
Bukan pula terus-menerus membandingkan diri kita dengan orang lain demi membuktikan keunggulan yang dimiliki.
Itu namanya arogansi.
Percayalah, pasti ada seseorang yang lebih baik daripada kita.
Dan saat sosok yang lebih baik itu datang, kita akan merasa rendah diri.
Jadi, rasa percaya diri yang tumbuh atas dasar perbandigan bisa runtuh kapan saja.
Rasa percaya diri sejati berasal dari pola pikir di mana kita tidak perlu membandingkan diri sendiri dengan siapa pun.
Cukuplah hanya dengan kita melakukan yang terbaik.
Jika mengingat teman SMA saya itu, saya berupaya memupuk rasa percaya diri yang sama dalam diri saya.
Mudah-mudahan kita bisa lekas bertemu di puncak kesuksesan masing-masing. We can do it.
Label: Renungan
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home